Senin, Februari 18, 2019

Makata 4- Surah Al-Fatihah (ayat 6-7)

Hasil gambar untuk al fatihah ayat 6-7


Edisi N0: 4 -Desember 2009 M/Dzul Hijjah 1430 H
Surah : al-Fatihah ayat : 6-7
Terjemahannya : (6) ( Ya Allah ) berilah kami petunjuk kepada jalan yang lurus,(7) yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat ( mukmin ), bukan jalannya orang yang Engkau Murkai dan bukan pula jalannya orang yang sesat.

Mukaddimah :
Mayoritas ahli tafsir menyepakati pemaknaan ayat : jalannya orang yang Engkau beri nikmat adalah jalan hidup orang mukmin, dan jalannya orang yang Engkau murkai adalah jalan hidup orang Yahudi, dan jalannya orang yang tersesat adalah jalan hidup orang-orang Nasrani
Penafsiran ini tentu berdasarkan pada dominasi makna kalimah itu sendiri, sehingga " keimanan " merupakan kenikmatan puncak bagi manusia karena merupakan jalan yang dapat membuat bahagia dunia dan akherat, dan nikmat ini tidak semua manusia dianugerahi .
Sedangkan alasan Allah murka adalah karena mereka dengan sengaja menentang ajaran Islam karena merasa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh yang lain.
Adapun ketersesatan yang terjadi adalah sebagai akibat dari kebodohan yang dipuja sehingga menimbulkan fanatisme buta, padahal jalan tersebut berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan Islam.

Bahasan :
Pada ayat 5 surah al-Fatihah telah dijelaskan tentang hak dan kewajiban serta bentuk korelasi ( hubungan ) imbal balik antara Allah Sang Pencipta dan manusia sebagai makhluk ciptaan, yang intisarinya adalah " ketergantungan manusia pada pertolongan Allah secara mutlak ", dan pertolongan yang seharusnya diminta dan diharapkan manusia dari Allah Tuhannya adalah : " Berilah kami petunjuk kepada jalan yang lurus "
Dan di dalam mukaddimah telah dijelaskan bahwa " jalan yang lurus " itu adalah jalannya orang-orang yang beriman, yakni cara hidup yang dapat mengakibatkan terciptanya kebahagiaan lahir batin, dunia dan akherat. Hal yang demikian tentunya sulit dinalar dan sulit pula dimasukkan akal, bagi mereka yang hidup tidak menempuh jalan iman. Sebab rata-rata manusia dalam mengorientasikan hidup dan dalam memahami nikmat Allah tentulah selalu memaknainya dengan materi atau kondisi jiwa yang sesuai dengan kehendaknya, dan parahnya lagi banyak yang memaknai keimanan hanyalah sebatas " nasib " yakni jika nasibnya baik ya iman, kalau tidak ya tidak iman. Sungguh naif pemahaman semacam ini.
Padahal kalau nikmat itu hanya dimakanai sebagai jenis dan jumlah materi tertentu, maka betapa banyak manusia yang susah dan sulit mendapatkan kebahagiaan hidup hanya lantaran melimpahnya materi duniawi.
Demikian juga ( yang dianggap ) nikmat-nikmat lain yang bersifat semu dan terbatas hanya dalam lingkup kebendaan, pastilah akan berujung pada : kejemuan, kejenuhan, mencari yang lain, ragu dan bimbang serta terobsesi untuk mendapatkannya secara instan ( tidak mau bersusah payah )....dan apabila telah mendapatkannya, kebanyakan akan berakhir pada : sifat kikir, ujub, riya', hubbud-dun-ya ( cinta dunia ), karohiyatul maut ( takut mati ), dan lupa akhirat.
Sehingga dalam ayat 6 ini dengan jelas disebutkan bahwa seyogyanya manusia itu mohon pertolongan Allah dalam bentuk agar dimudahkan menuju jalan keimanan dan ketakwaan serta diistiqomahkan agar selalu berada dijalan itu, karena sesungguhnya dengan keimanan dan ketakwaan yang kokoh, banyaknya harta benda materi tidak mengakibatkan hilangnya rasa bahagia, tingginya derajat dan jabatan tidak membuat gelisah hidup, namun justru akan mendatangkan ketenangan hati sebagai awal dari tumbuhnya rasa bahagia.
Sebab nilai-nilai yang diajarkan dalam nuansa " iman " ini adalah nilai-nilai luhur yang disampaikan oleh Allah Sang Pencipta manusia, sehingga amat mustahil apabila nilai luhur tersebut tidak diperuntukkan demi kebahagiaan manusia ciptaan-Nya. Ibarat ketertarikan manusia akan kemewahan dunia itu racun penyakit, maka obat penawar racun itu disebut " keimanan dan ketakwaan "
Dan dalam doa " sapu jagad " yang menjadi andalan setiap mukmin, selalu saja doa itu dipanjatkan mengakhiri doa-doa yang lain : " Rabbanaa aatina fid-dun-yaa hasanah, wafil aakhiroti hasanah, waqinaa 'adzaaban-naar " [ Ya Allah, berikanlah kami kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akherat, dan hindarkan kami dari siksa neraka ] tentu menjadi pemahaman yang amat sempurna bagi kebahagiaan haqiqi sebagai nikmat Allah yang tertinggi adalah " keimanan" dan ketakwaan kepada-Nya saja.
Permintaan pertolongan kepada Allah hendaknya menghindari permintaan jarak dekat yang hanya dapat dinikmati di dunia yang bersifat fana dan akan hancur ini. Bahkan kalau tidak hati-hati, nikmat jangka pendek itu dapat menjerumuskan manusia pada " terget kemurkaan " Allah sebagai akibat kufur nikmat dan menentang nikmat yang hakiki yakni " iman ", sebagaimana yang terjadi pada orang Yahudi, dimana dengan nikmat keunggulan mereka di dunia justru menghantarkan mereka menjadi komunitas yang dimurkai oleh Allah karena " pembangkangan" mereka terhadap kebenaran yang dibawa oleh baginda Rasulullah saw.
Sehingga golongan orang yang dimurkai Allah adalah orang Yahudi yang melawan dan membangkang terhadap kebenaran Islam, yang tentunya "sikap kontra" itu sebagai akibat dari nikmat jangka pendek yang dikaruniakan Allah kepada mereka, bahkan "tindkan melawan" mereka sungguh amat keterlaluan, sebagaimana yang disampaikan di dalam al-Qur'an, bahwa Uzair adalah anak Tuhan, dan hanya merekalah yang berhak menempati syurga dan pengakuan " kesombongan" yang lain yang masih banyak yang mengakibatkan mereka masuk ke dalam kriteria manusia yang dimurkai Allah awt.
Dan sisi inilah yang seyogyanya diminta manusia kepada Allah agar dihindarkan dari " kemurkaan" Allah, sebagai akibat hati nurani yang membangkang bahkan cenderung syirik, dan syare'at yang diubah-ubah semau gue, serta efek tasawwuf yang tidak pernah ada, karena kesombongan.
Dan hal kedua yang seharusnya selalu dimintakan pertolongan dari Allah adalah terhindar dari golongan manusia yang tersesat. Yakni manusia yang karena kebodohan akan ketauhidan, fanatisme yang tanpa dasar dan alasan yang benar, kemudian diyakini dipedomani dan diperjuangkan, lalu mereka tersesat tanpa tahu jalan yang sebenarnya harus ditempuh, untuk menggapai kebahagiaan duniawi dan ukhrowi, lahir dan batin.
Dalam ayat ini, yang dimaksudkan adalah orang-orang Nasrani yang salah memahami tauhid, yang seharusnya ' MENG-ESAKAN " Allah, tapi justru meyakini kelebihan Isa as. Melebihi Tuhan itu sendiri, dengan fanatisme dan pengkultusan yang tanpa dasar kebenaran, dan parahnya lagi hal yang demikian diyakini sebagai " kebenaran mutlak " yang harus dipedomani dan diperjuangkan, sehingga sampai-sampai menafikan golongan lain, bahkan tidak mengakui kebenaran ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Maka pada akhir surah Fatihah ini, Allah menjelaskan tata-cara menggapai kebahagiaan dunia dan akherat, yahni "memohon pertolongan kepadaNya agar dibimbing berjalan diatas jalan kebenaran " keimanan ", dan dihindarkan dari jalannya golongan orang yang dimurkai karena menentang kebenaran Islam, dan juga dihindarkan dari jalannya golongan orang tersesat, akibat kebodohan dan fanatismenya mengambil jalan hidup selain jalan keimanan yang telah dikaruniakan oleh Allah ".

0 comments:

Posting Komentar

 

Kontak