Kajian : Ahad, 23 Maret 2008
Aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah
Oleh : Drs. H.
Yusron Kholid, M.Pd.I
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ
يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوٓءًا
فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ
Innallooha laa yughoyyiru maa biqoumin, hattaa yughoyyiruu maa bi
ang-fusihim. Waidzaa aroodalloohu biqoumin suu-a [ng] falaa marodda lah[u],
wamaa lahum min duunihii miw-waal [ Q.S : Ar-ro’d : 11 ]
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya;
dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia ( Allah ) [Surah
Ar-Ro’du : 11 ]
Pada
zaman Rasulullah saw, masih hidup pada masa itu, perbedaan pendapat di antara
kaum Muslimin [ sahabat ] langsung
dapat diselesaikan dengan kata akhir dari Kanjeng Nabi Muhammad. Namun setelah
beliau wafat, penyelesaian demikian tidak bisa terjadi dan ditemukan. Dan
timbulnya perbedaan di kalangan umat Islam waktu itu adalah dalam hal imamah
(siapakah imam/pemimpim yang berhak memimpin setelah Rasul wafat),
dan bukan pada persoalan aqidah, namun dari wilayah imamah itulah kemudian merambah ke permasalahan agama, terutama
seputar hukum seorang muslim yang berbuat dosa besar dan bagaimana statusnya
ketika ia mati, apakah tetap mukmin apa telah kafir.
Dan
pada masa berikutnya, pem-bicaraan tentang aqidah juga me-rambah meluas kepada
persoalan-persoalan Tuhan dan manusia,terutama terkait perbuatan manusia dan
ke-kuasaan Tuhan, hingga muncullah dua kelompok
moderat yang berusaha mengkompromikan keduanya, yang kemudian disebut
dengan Ahlussunnah wal-Jama’ah (ASWAJA).
Yaitu Asy’ariyah yang didirikan oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( lahir di Bashrah 260 H/ 873 M, wafat di Baghdad 324 H/ 935 M )
dan Maturidiyah yang didirikan oleh Imam
Abu Manshur Al-Maturidi ( lahir di Maturid Samarkand, wafat 333 H ).
Aqidah
Asy’ariyah merupakan jalan tengah ( tawasuth ) di antara
kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang pada masa itu. Yakni kelompok Jabariyah dan Qodariyah yang kembangkan oleh Mu’tazilah.
Dalam membicarakan perbuatan manusia keduanya saling berseberangan. Kelompok
Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan
manusia tidak memiliki peranan apapun. Sedang kelompok Qodariyah memandang
bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia
itu sendiri dan terlepas dari Allah. Dengan begitu, bagi Jabariyah kekuasaan Allah adalah mutlak dan
bagi Qodariyah kekuasaan Allah itu terbatas.
Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy’ariyah
dengan konsep al-kasb ( upaya ),dengan maksud bahwa manusia diciptakan oleh
Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Kasb memiliki makna ke-bersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan
Tuhan. Kasb juga bermakna keaktifan
dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan konsep kasb tersebut,
aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia selalu aktif berusaha secara kretaif dalam
kehi-dupannya, akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan
semua ( hasilnya ).
Pada zaman sekarang dan dengan gambaran yang mudah adalah kebersama-an
antara ikhtiar ( usaha ) dengan tawakkal yang menyandarkan segala akibat
kepada Allah.
Ikhtiar adalah usaha jasad
lahiriyah untuk melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan fungsi anggota badan,
namun tidak boleh meninggalkan rasa tawakkal
dalam hati kepada Allah tentang berhasil dan tidaknya perbuatan usaha tersebut.
Sebagaimana intisari dari do’a yang kita ucapkan setiap kali pergi berangkat
meninggalkan rumah :
Bismillahi tawakkaltu ‘alallooh, laa haula
walaa quwwata illa billah
“ Dengan nama Allah, aku tawakkal ( menyerahkan urusan ) kepada Allah,
tidak ada daya dan kekuatan kecuali Allah saja “
Secara fisik kita wajib fokus konsentrasi melangkahkan kaki,
menggerakkan tangan dan memeras otak, tapi dalam hati kita harus tetap ingat
bahwa Allah-lah yang akan menetukan hasilnya, apakah sukses ataupun gagal. Dan
jika konsep ini kita lakukan secara bersama sama ( antara usaha jasad dan
tawakkal hati ), maka apabila berhasil, tidak lantas membuat kita sombong dan
melupakan kekuasaan Allah, dan bila gagal, maka tidak serta merta kita frustasi
dan putus asa.
Sehingga dalam setiap aktifitas kehidupan ini, hendaknya selalu
mengkombinasikan antara nalar yang baik dalam usaha (ihtiar) dan kejernihan
hati dalam tawakkal. Tidak dengan memilah antara keduanya. Ihtiar adalah gerak
jasad lahir, dan tawakkal adalah aktifitas hati ruhaniyah.
Untuk
memfokuskan ihtiar usaha, maka harus memperkokoh rasa sabar; sabar ketika gagal
dan sabar ketika berhasil.
Sabar ketika gagal
artinya adalah tidak lantas marah-marah pada keadaan yang ada, tapi harus
diterima sebagai ujian dan cobaan dari Allah, yang selalu disediakan bagi orang
yang sabar itu akibat yang baik dan mulia dari Allah.
Sabar ketika sukses
( berhasil ) artinya adalah tidak membuat kita lupa diri, sombong dan takabbur.
Karena atas pertolongan Allah-lah sukses itu bisa diraih.
Dan untuk
memperkokoh tawakkal dalam hati sanubari ruhaniyah kita hendaknya mempermudah
dan memperbanyak rasa syukur, syukur ketika ihtiar gagal
dan syukur ketika berhasil dan sukses.
Syukur ketika
gagal berarti berterima kasih kepada Allah karena kita telah dipilihkan
oleh-Nya pada sesuatu yang lebih maslahat dan manfaat bagi kita, karena setiap
keputusan dan takdir Allah bagi manusia selalu mengandung hikmah.
Syukur ketika
meraih keberhasilan berarti berterima kasih kepada Allah karena telah diberi
kesempatan oleh-Nya untuk menikmati secuil kenikmatan dari sekian kenikmatan
agung lainnya.
Dan diantara
tanda orang yang sabar adalah tidak mudah mengaduh dan mengeluh saat ditimpa
ujian dan cobaan dari Allah.
Dan diantara
tanda orang yang syukur adalah tidak menyembunyikan nikmat – sekecil apapun –
yang diberikan oleh Allah, dengan suka menceritakan nikmat itu kepada orang
lain :
Fa-ammaa
bini’mati robbika fahaddits
“ adapun
terhadap nikmat Tuhanmu, maka ceriterakanlah “
0 comments:
Posting Komentar