Sabtu, Januari 19, 2019

Intisari Ahad Pagi : Pemahaman Ahlussunnah wal-Jama’ah


Kajian : Ahad, 09 Maret 2008

Pemahaman Ahlussunnah wal-Jama’ah
Oleh : KH. Abu NA’im

Iftaroqotil yahuudu ‘alaa ihda wa sab-‘iina firqotan, wan-nashooro ‘alaa-ts-nataini wa sab-‘iina firqotan, wa satafriqu ummatii ‘alaa tsalaatsin wa sab-‘iina firqotan. An-naajiyatu min-ha waahidatun wal-baaquuna halkaa, qiila : waman an-naajiyatu ? qoola : Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Qiila : wamaa Ahlussunnah wal Jamaa’ah ? qoola : maa anaa ‘alaihi wa ash-haabii…

[ Ada 16 sahabat dan 1 tabi’in yang meriwayatkan hadist ini, yakni : Abu Hurairah, Abdullah bin Abr bin Al-‘Ash, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ‘Auf bin Malik, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Abu Umamah, Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Abu Al-Darda’, Abdullah bin Abbas,Umar bin Khattab, Jabir, Wastilah, Amru bin Auf al Muzani, Imam Qatadah ( Tabi’iy ) ]

Nabi saw.bersabda : “ Kaum Yahudi bergolong-golong menjadi 71, Kaum Nasrani menjadi 72, dan umatku ( umat Islam )menkadi 73 golongan, hanya satu yang akan masuk surga dan selebihnya masuk neraka” para sahabat bertanya : “ siapa satu yang selamat itu ? “ Rasulullah menjawab : “ mereka adalah Ahlussunnah wal-Jama’ah “. “ Apakah Ahlussunnah wal-Jama’ah itu ? “ yaitu : apa yang aku berada di atasnya bersama para sahabatku “
======================================
Dalam bahasan minggu lalu ( 02-03-’08)  seakan-akan tergambar pada potret manusia saat ini, sangat mudah terjerumus ke dalam neraka dan amat sulit menapaki jalan ke surga.
Namun kalau menilik hadits Nabi saw, di atas maka masih ada secercah harapan bagi kita untuk tetap optimis dapat meraih kebahagiaan hakiki di akherat kelak, dengan tidak membiarkan diri kita terjerumus ke dalam neraka yang sungguh amat mengerikan siksaannya. Yakni dengan senantiasa ” berpegangan pada tuntunan Nabi saw dan para sahabat Beliau “.

Pada masa ini, untuk merujuk  per-masalahan keagamaan kepada Nabi saw, tentu tidak bisa. Jangankan saat ini, ketika beliau wafat saja, para sahabat tidak lagi dapat menanyakan permasalahan keagamaan yang berkembang kepada sumber aslinya, kecuali dengan berpegang pada Al-Qur’an dan Hadits sebagaimana yang -
Beliau wasiatkan, namun kemurnian dari ajaran Islam yang didakwahkan Rasulullah sejak zaman beliau masih hidup hingga kurun ini, telah melewati 1429 tahun lebih, dengan gambaran sekilas tentang kurun-kurun itu adalah :
-  sejak Nabi wafat s/d tahun 90 H = kurun sahabat
-  th. 90 H s/d 170 H adalah masa Tai’in
-  Th. 170 H s/d 250 H = masa Tabi’it-Tabi’in
-  Th. 250 H s/d ± th. 600 H = masa ulama Kholaf
-  s/d sekarang = ulama Mutaakh-khiriin

maka bentang masa yang begitu jauh, tentu harus ada upaya mencari pedoman yang benar dan murni serta bersumber dari beliau. Dan yang dipakai hujjah NU dalam hal ini, adalah sesuai dengan sabda Nabi saw :

“ ‘alaikum bisunnatii wasunnatil khulafaair raasyidiinal mahdiyyiin “

“ Hendaklah kalian berpegang teguh pada suunnahku dan para khalifah ( penerus ) yang mendapat petunjuk Allah “

dan hadits lain :
al- ‘ulamaa-u waratsatul an-biyaa-i “

Artinya : Ulama adalah pewaris [ ilmu dan ajaran ] para nabi

Dengan demikian, maka di saat paham keagamaan kian marak dan majemuk, yang perlu dipedomani adalah, bahwa pedoman Ahlussunnah wal-Jamaa’ah ala NU dalam ber-Islam mengambil dasar dan rujukan : Al-Qur’anul Karim, Al-Hadits, ijma’ dan qiyash.

Paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiganya merupakan kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam.

Dalam aqidah mengambil manhaj ( pola pemikiran ) Asy’ariyah dan Maturidiyah, dan dalam fiqh ( syari’ah ) bermanhaj pada empat imam madzhab besar ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali ), sedangkan dalam aspek akhlak ( tasawwuf ) mengambil manhaj Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Qosim al_Junaidi al-Baghdadi serta para imam lain yang sejalan dengan syari’ah Islam.

Perlu dijelaskan di sini tentang perlunya bermadzhab, karena untuk berijtihad diperlukan kelengkapan ilmu-ilmu alat secara ketat, karena harus menguasai ilmu nahwu, sharaf, ma’ani, badi’ dan lainnya, dan untuk berijtihad dalam tiga pokok syari’ah Islam di atas – pada masa kini - menurut  keyakinan NU amat sulit untuk dipenuhi. Di lain pihak ; taqlid buta            ( mengikuti tanpa tahu dasar hokum ) juga merupakan hal yang dilarang dalam Islam, maka dengan bermadzhab merupakan sikap tawassuth dan I’tidal ( tengah-tengah dan seimbang ) dari ijtihad yang tidak sempurna dan menghindari taklid buta, sebagai upaya untuk menjaga kehati-hatian dalam beragama.

Dari paparan tersebut di atas, maka diharapkan majelis taklim pengajian “ An-Nahdliyah “ setiap Ahad pagi diharapkan dapat mengungkap nilai ajaran Ahlussunnah wal- Jama’ah ala Nahdlatul Ulama yang jarang dipahami oleh para nahdliyyin dan nahdliyyat, khususnya terkait amalaiyah keagamaan yang banyak mengundak kontrofersi dalam kehidupan bermasyarakat, seperti : tahlil, qunut, tawashul, hidiyah pahala, tabaruk, ziarah dan lainnya. Dimana semua hal itu membutuhkan guru pembimbing seorang alim yang kamil mukammil, yang dapat membimbing ke jalan yang benar sesuai dengan yang diwarisi dari ulama pendahulu, tabi’it tabi’in, tabi’in, shahabah, dan Nabi saw.

Tidak sepantasnya, dalam memahami agama, kita bersikap apriori dan sombong, dengan mengatakan bahwa kita juga mampu mamahami ajaran Al-quran dan Al-hadits yang telah diturunkan oleh Allah 1429 tahun yang lalu dengan hanya mengandalkan kemampuan bahasa yang amat terbatas, lalu memberikan penilaian-penilaian sesuai dengan pemahaman itu.
Kalau tidak hati-hati, jangan-jangan justru pemahaman itu ditunggangi kesesatan hawa nafsu, yang akhirnya tidak dapat mencapai tujuan, bahkan bisa tersesat dan tersesat. Na’udzubillah min dzalik.

Dan yang lebih penting daripada itu. Harus pula seimbang antara ilmu dan amal, yakni bahwa dalam majelis pengajian sebaiknya seimbang antara hasil ilmiyah dan hasil amaliyah. Sehingga ilmu yang didapat di majelis ini akan bisa dimanfaatkan dalam amaliyah pribadi para mustami’in dan mustami’at.

Semoga Allah swt. Meridloi kita semua. Amin, yaa Robbal-‘aalamiin ¯

0 comments:

Posting Komentar

 

Kontak