Kajian :
Ahad, 09 Maret 2008
Pemahaman
Ahlussunnah wal-Jama’ah
Oleh : KH. Abu NA’im
Iftaroqotil yahuudu ‘alaa ihda wa sab-‘iina firqotan, wan-nashooro
‘alaa-ts-nataini wa sab-‘iina firqotan, wa satafriqu ummatii ‘alaa tsalaatsin
wa sab-‘iina firqotan. An-naajiyatu min-ha waahidatun wal-baaquuna halkaa,
qiila : waman an-naajiyatu ? qoola : Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Qiila : wamaa
Ahlussunnah wal Jamaa’ah ? qoola : maa anaa ‘alaihi wa ash-haabii…
[ Ada 16 sahabat dan 1 tabi’in yang meriwayatkan hadist ini, yakni
: Abu Hurairah, Abdullah bin Abr bin Al-‘Ash, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ‘Auf
bin Malik, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Abu Umamah, Ibnu Mas’ud, Sa’ad
bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Abu Al-Darda’, Abdullah bin Abbas,Umar bin
Khattab, Jabir, Wastilah, Amru bin Auf al Muzani, Imam Qatadah ( Tabi’iy ) ]
Nabi saw.bersabda : “ Kaum
Yahudi bergolong-golong menjadi 71, Kaum Nasrani menjadi 72, dan umatku ( umat
Islam )menkadi 73 golongan, hanya satu yang akan masuk surga dan selebihnya
masuk neraka” para sahabat bertanya : “ siapa satu yang selamat itu ? “
Rasulullah menjawab : “ mereka adalah Ahlussunnah wal-Jama’ah “. “ Apakah
Ahlussunnah wal-Jama’ah itu ? “ yaitu : apa yang aku berada di atasnya bersama
para sahabatku “
======================================
Dalam
bahasan minggu lalu ( 02-03-’08) seakan-akan tergambar pada potret manusia saat
ini, sangat mudah terjerumus ke dalam neraka dan amat sulit menapaki jalan ke
surga.
Namun kalau menilik hadits
Nabi saw, di atas maka masih ada secercah harapan bagi kita untuk tetap optimis
dapat meraih kebahagiaan hakiki di akherat kelak, dengan tidak membiarkan diri
kita terjerumus ke dalam neraka yang sungguh amat mengerikan siksaannya. Yakni
dengan senantiasa ” berpegangan pada
tuntunan Nabi saw dan para sahabat Beliau “.
Pada masa ini, untuk
merujuk per-masalahan keagamaan kepada
Nabi saw, tentu tidak bisa. Jangankan saat ini, ketika beliau wafat saja, para
sahabat tidak lagi dapat menanyakan permasalahan keagamaan yang berkembang
kepada sumber aslinya, kecuali dengan berpegang pada Al-Qur’an dan Hadits
sebagaimana yang -
Beliau
wasiatkan, namun kemurnian dari ajaran Islam yang didakwahkan Rasulullah sejak
zaman beliau masih hidup hingga kurun ini, telah melewati 1429 tahun lebih,
dengan gambaran sekilas tentang kurun-kurun itu adalah :
- sejak Nabi wafat s/d tahun 90 H = kurun sahabat
- th. 90 H s/d 170 H adalah masa Tai’in
- Th. 170 H s/d 250 H = masa Tabi’it-Tabi’in
- Th. 250 H s/d ± th. 600 H = masa ulama Kholaf
- s/d sekarang = ulama Mutaakh-khiriin
maka bentang
masa yang begitu jauh, tentu harus ada upaya mencari pedoman yang benar dan
murni serta bersumber dari beliau. Dan yang dipakai hujjah NU dalam hal ini,
adalah sesuai dengan sabda Nabi saw :
“ ‘alaikum bisunnatii wasunnatil khulafaair raasyidiinal mahdiyyiin
“
“ Hendaklah
kalian berpegang teguh pada suunnahku dan para khalifah ( penerus ) yang
mendapat petunjuk Allah “
dan hadits lain
:
“ al- ‘ulamaa-u waratsatul
an-biyaa-i “
Artinya : Ulama adalah pewaris [ ilmu dan ajaran ] para nabi
Dengan demikian, maka di saat paham keagamaan kian marak dan majemuk,
yang perlu dipedomani adalah, bahwa pedoman Ahlussunnah wal-Jamaa’ah ala NU
dalam ber-Islam mengambil dasar dan rujukan : Al-Qur’anul Karim, Al-Hadits, ijma’ dan qiyash.
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek
aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiganya merupakan kesatuan ajaran yang mencakup
seluruh aspek prinsip keagamaan Islam.
Dalam aqidah mengambil manhaj ( pola pemikiran ) Asy’ariyah dan
Maturidiyah, dan dalam fiqh (
syari’ah ) bermanhaj pada empat imam madzhab besar ( Hanafi, Maliki, Syafi’I
dan Hambali ), sedangkan dalam aspek akhlak
( tasawwuf ) mengambil manhaj Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Qosim
al_Junaidi al-Baghdadi serta para imam lain yang sejalan dengan syari’ah Islam.
Perlu dijelaskan di sini tentang perlunya bermadzhab, karena untuk
berijtihad diperlukan kelengkapan ilmu-ilmu alat secara ketat, karena harus
menguasai ilmu nahwu, sharaf, ma’ani, badi’ dan lainnya, dan untuk berijtihad
dalam tiga pokok syari’ah Islam di atas – pada masa kini - menurut keyakinan NU amat sulit untuk dipenuhi. Di
lain pihak ; taqlid buta (
mengikuti tanpa tahu dasar hokum ) juga merupakan hal yang dilarang dalam
Islam, maka dengan bermadzhab merupakan sikap tawassuth dan I’tidal (
tengah-tengah dan seimbang ) dari ijtihad yang tidak sempurna dan menghindari
taklid buta, sebagai upaya untuk menjaga kehati-hatian dalam beragama.
Dari paparan
tersebut di atas, maka diharapkan majelis taklim pengajian “ An-Nahdliyah “
setiap Ahad pagi diharapkan dapat mengungkap nilai ajaran Ahlussunnah wal-
Jama’ah ala Nahdlatul Ulama yang jarang dipahami oleh para nahdliyyin dan
nahdliyyat, khususnya terkait amalaiyah keagamaan yang banyak mengundak
kontrofersi dalam kehidupan bermasyarakat, seperti : tahlil, qunut, tawashul,
hidiyah pahala, tabaruk, ziarah dan lainnya. Dimana semua hal itu membutuhkan
guru pembimbing seorang alim yang kamil mukammil, yang dapat membimbing ke
jalan yang benar sesuai dengan yang diwarisi dari ulama pendahulu, tabi’it
tabi’in, tabi’in, shahabah, dan Nabi saw.
Tidak
sepantasnya, dalam memahami agama, kita bersikap apriori dan sombong, dengan
mengatakan bahwa kita juga mampu mamahami ajaran Al-quran dan Al-hadits yang
telah diturunkan oleh Allah 1429 tahun yang lalu dengan hanya mengandalkan
kemampuan bahasa yang amat terbatas, lalu memberikan penilaian-penilaian sesuai
dengan pemahaman itu.
Kalau tidak
hati-hati, jangan-jangan justru pemahaman itu ditunggangi kesesatan hawa nafsu,
yang akhirnya tidak dapat mencapai tujuan, bahkan bisa tersesat dan tersesat. Na’udzubillah min dzalik.
Dan yang lebih
penting daripada itu. Harus pula seimbang antara ilmu dan amal, yakni bahwa
dalam majelis pengajian sebaiknya seimbang antara hasil ilmiyah dan hasil amaliyah.
Sehingga ilmu yang didapat di majelis ini akan bisa dimanfaatkan dalam amaliyah
pribadi para mustami’in dan mustami’at.
Semoga Allah swt.
Meridloi kita semua. Amin, yaa Robbal-‘aalamiin ¯
0 comments:
Posting Komentar